Perkembangan
peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi.
Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan
tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga
senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam
bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya.
Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama
yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia
bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah
satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.
Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi
baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di
Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum
merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam
masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa
setempat.
Kemudian
setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini
meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat
menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah
ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang
sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi,
alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin
penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan
masalah korupsi.
Di
Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.
Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke
permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit
kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke
lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan
yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru,
korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga
pejabat tinggi.
Berangkat
dari latar belakang di atas lah makalah ini di buat. Makalah ini akan
membahas tentang perkembangan korupsi di Indoesia.
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin ‘corruputio’ Atau “corruptus”yang
berarti kerusakan atau kebobrokan. Kata korupsi sudah masuk
perbendaharaan bahasa Indonesia. Menurut kamus Bahasa Indonesia
karangan WJS Purwadarminta (1976) pengertian korupsi adalah Korup :Busuk, buruk, suka menerima uang sogok, memakai kekusaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Korupsi perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Misalnya: “Korupsi di kalangan pegawai negeri harus dibasmi hingga akar-akarnya”.
Arti
harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah”.
Dengan
demikian pengertian korupsi sangat luas. Sedang pengertian korupsi
menurut menurut penjelasan UU. No. 3 tahun 1971 adalah :
“Perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan
secara melawan hukum, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui
atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara
dan perekonomian Negara”.
Kartono
(1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala
salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi,
salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan
wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan
kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim
(dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan
melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang
bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan
kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan
hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Baharuddin
Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah
korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan,
yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang
menyangkut bidang kepentingan umum.
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
- Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
- Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
- Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
- Era sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi”
yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan
wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin
dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh
keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya),
Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko
Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda
dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Kebiasaan
mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa
ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman
Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi
perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya
perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh
(1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu
penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga
dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus
penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu
adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas
Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.[4]
Isi
peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat
“manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah
yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya
“Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru
atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS.
mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
- Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana
sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya
korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai
seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca
Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik
tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum
melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat
penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab
untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada
era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk
Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata
pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan
dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan
Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar
kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata
kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para
pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung
di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah
sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada
pemerintah (Kabinet Juanda).[5]
Tahun
1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus
korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya
adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata
juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut
Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas
ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan
dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam
kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara
dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup
signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise
Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam
suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas
semua kepentingan yang lain”.
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar
(Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno
menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya
mengalami stagnasi.
- Era Orde Baru
Pada
pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj
Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik
berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad
untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad
itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang
diketuai Jaksa Agung.
Tahun
1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi
seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa
memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk
rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap
bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A
Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan
Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya
tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib
(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah
Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup
tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode
atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin
berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution
juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa
bekas sama sekali.
- Era Reformasi
Jika
pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan
oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh
elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat
ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali,
kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan
melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan
DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru
lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum
pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias
“kelamaan”.
Kemudian,
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau
lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan
ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu
untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial
review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia
mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di
samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat
tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya
pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di
luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas
dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat
bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun
1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK,
sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga
pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[7]
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian
(Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan
Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai
katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya
jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR
RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten
mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.
Menurut
Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai
bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi
juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada
masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye
antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan)
ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
0 komentar:
Posting Komentar